Setiap menjelang Lebaran kaum buruh di Indonesia selalu dihadapkan dengan permasalahan tentang pelaksanaan THR, beberapa pertanyaan yang sering muncul di kalangan kaum buruh adalah: tentang apa itu THR, berapa seharusnya jumlah THR yang berhak diterima oleh buruh dan bagaimana cara mendapatkannya dari majikan (pengusaha). Sangat ironis aapabila, sampai saat ini masih banyak kaum buruh di Indonesia yang belum memahami betul soal tersebut. Padahal seperti kita ketahui bersama bahwa masalah ini sering kali muncul hampir tiap tahun menjelang hari raya Idul fitri dan menimbulkan berbagai macam persoalan khususnya dikalangan buruh karena memang masih banyak kaum buruh yang tidak mendapatkan THR, atau apabila mendapatkannyapun tidak sesuai dengan apa yang semestinya menjadi haknya, sehingga lagi-lagi pihak buruhlah yang menjadi korban dan yang selalu saja dirugikan, masalah-masalah yang terjadi adalah masih banyak buruh yang menerima begitu saja (tidak sesuai aturan) besaran THR yang diberikan oleh majikan (perusahaan), bahkan dengan berbagai macam alasan yang dikemukakan oleh pengusaha tidak sedikit kaum buruh yang sudah bekerja bertahun-tahun tetap saja tidak mendapatkan sama sekali hak atas THR. padahal THR merupakan salah satu hak dasar/normatif buruh yang wajib diberikan oleh pengusaha sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
Hal ini selain dikarenakan kaum buruh kurang memahami secara lebih terang dan lengkap tentang masalah-masalah hak dasar/normatif (THR) yang semestinya didapat oleh buruh juga karena peranan pemerintah dalam hal ini DISNAKERTRANS yang kurang berfungsi dalam melakukan kontrol pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan pelanggaran pemberian THR terhadap buruhnya. sehingga suka tidak suka kaum buruh dipaksa untuk berjuang apabila menginginkan semua hak-haknya dapat terpenuhi dan diberikan oleh pengusaha.
Sampai saat ini pelaksanaan THR masih menggunakan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04/Men/1994. Menurut Peraturan Menteri (Permen) 04/1994, yang dimaksud THR adalah pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain. Banyak orang salah mengartikan bahwa THR merupakan pendapatan tambahan, sehingga orang menyebutnya dengan istilah “gaji ke-13″. Padahal sebenarnya hak atas THR adalah hak yang seharusnya didapatkan buruh atas hasil kerjanya selama satu tahun. Hak ini kongkrit menjadi tuntutan kebutuhan hidup kaum buruh beserta keluarganya ditengah situasi ekonomi yang semakin terpuruk saat ini, dimana satu sisi harga-harga kebutuhan pokok rakyat yang semakin tinggi sedangkan sisi yang lain upah buruh yang masih sangat minim/rendah, lihat saja 45 item komponen dalam konsep penyusunan upah misalnya selain hanya dihitung berdasarkan kebutuhan hidup minimum bagi buruh lajang juga tidak ada komponen kebutuhan hidup buruh untuk mendapatkan tunjangan/biaya dalam menjalankan ibadah dimana salah satunya adalah merayakan Hari Raya Keagamaan. Sehingga sudah semestinya kaum buruh mendapatkan hak atas Tunjangan Hari Raya (THR).
Meskipun peraturan mengenai THR sudah ada akan tetapi pada kenyataannya buruh tidak secara otomatis mendapatkan apa yang semestinya menjadi haknya, karena pada kenyataan banyak para majikan (pengusaha) yang tidak memberikan hak atas THR kepada buruhnya sesuai dengan ketentuan.
Banyak cara ditempuh oleh pihak pengusaha untuk mengindar dari kewajibannya untuk membayar THR, baik dengan cara terang-terangan dan terbuka maupun terselubung. Beberapa praktek yang umum dilakukan oleh pengusaha yang dapat kita simpulkan diantaranya adalah:
Pertama menggunakan alasan yang sangat lazim dan umum dilakukan oleh para pengusaha yaitu perusahaan tidak mampu memberikan THR sesuai ketentuan, sehingga dengan alasan tersebut pengusaha hanya memberikan THR atas dasar memampuan dan kemauan dari pengusaha saja padahal semua majikan/pengusaha selama ini tidak pernah terbuka soal keadaan perusahaan yang sebenarnya dan berapa keuntungan perusahaan dari proses produksinya selama ini, sehingga banyak buruh tidak mendapatkan THR sesuai ketentuan yang berlaku. Alasan tersebut sebenarnya adalah alasan yang tidak memiliki dasar sama sekali, karena memang sudah menjadi tabi’at dari semua pengusaha yang selalu mengatakan perusahaan rugi, dan tidak pernah menyampaikan kepada buruhnya apabila perusahaan mendapatkan untung besar. Watak ini sangat melekat pada diri pengusaha sejak jaman kelahirannya.
Kedua dengan cara menggunakan tenaga kerja buruh kontrak dan out sourcing sehingga dengan alasan status tersebut pengusaha tidak bersedia memberikan THR pada buruhnya meskipun sudah bekerja bertahun tahun bahkan puluhan tahun sekalipun, padahal Menurut Pasal 2 Permen 04/1994, pengusaha wajib membayar buruh yang sudah bekerja secara berturut-turut selama 3 bulan atau lebih. Peraturan ini tidak membedakan status buruh, apakah buruh tetap, buruh kontrak, ataupun buruh paruh waktu.
Asal seorang buruh telah bekerja selama 3 bulan berturut-turut, maka ia berhak atas THR. Sekalipun sudah ada aturan namun pada kenyataannya mayoritas pengusaha tidak bersedia tunduk pada aturan tersebut sehingga aturan hanya sebatas aturan belaka. Dan apabila buruh mulai memahami haknya tersebut dan berusaha mendapatkan haknya maka pengusaha segera memutus sementara kontrak kerjanya sebelum masa pemberian THR dan segera membuat kontrak baru sesudah hari raya. Semua itu pada intinya adalah upaya dari para pengusaha agar terhindar dari kewajibannya membayar THR.
Ketiga cara yang paling keji dilakukan oleh para pengusaha agar terhindar dari kewajiban membayar THR sesuai ketentuan adalah dengan memanfaatkan ketidaktahuan buruh masalah hak THR yaitu dengan mengelabuhi buruh berlagak layaknya orang yang baik hati dan dermawan dengan memberikan hadiah hari raya berupa pemberian bingkisan pakaian, makanan/buah-buahan dan sedikit uang, padahal apabila dihitung total peberian hadiah hari raya tersebut ternyata kurang bahkan jauh dari ketentuan yang seharusnya didapat oleh buruh.
Siapa yang wajib membayar THR?
Menurut Permen 04/1994, setiap orang yang mempekerjakan orang lain disebut pengusaha dan wajib membayar THR. Peraturan perundang-undangan tidak mempersoalkan apakah seorang pengusaha itu perseorangan, memiliki perseroan terbatas, yayasan, atau perkumpulan. Pada intinya, setiap orang yang mempekerjakan orang lain dengan imbalan upah wajib membayar THR.
Apa semua buruh berhak atas THR?
Menurut Pasal 2 Permen 04/1994, pengusaha wajib membayar buruh yang sudah bekerja secara berturut-turut selama 3 bulan atau lebih. Peraturan ini tidak membedakan status buruh, apakah buruh tetap, buruh kontrak, ataupun buruh paruh waktu. Asal seorang buruh telah bekerja selama 3 bulan berturut-turut, maka ia berhak mendapatkan THR.
Berikut ini beberapa paparan mengenai peraturan menteri tenagakerja dan transmigrasi yang mengatur soal THR. Berapa Besar THR yang harus didapat buruh? Bahwa besaran uang THR yang harus diterima seorang buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Permen 04/1994 dengan rumus sebagai berikut.
1. Masa kerja 12 bulan atau lebih : 1 x upah sebulan. (upah pokok + Tunjangan tetap)
2. Masa kerja 3-12 bulan : jumlah bulan masa kerja x 1 bulan upah
12 bulan Yang harus dicatat, ketentuan THR menurut Permen 04/1994 adalah ketentuan jumlah minimum. Apabila perusahaan memiliki aturan perusahaan, atau kesepakatan kerja bersama, atau kesepakatan kerja yang memuat ketentuan jumlah THR lebih dari ketentuan peraturan tersebut, maka jumlah yang lebih tinggi yang berlaku. Sebaliknya, apabila ada ketentuan yang mengatur jumlah THR lebih kecil dari ketentuan yang diatur oleh peraturan tersebut, maka yang berlaku adalah ketentuan Permen 04/1994.
Sebagai contoh:
Bejo telah bekerja sebagai buruh kontrak di PT XYZ selama 5 bulan. Sebagai karyawan si Joko mendapat upah pokok Rp 2.000.000 ditambah tunjangan kesehatan Rp 200.000 dan tunjangan transportasi Rp 500.000. Maka Joko berhak mendapat THR sejumlah:
5 bulan
———- x (Rp 2.000.000 + Rp 500.000 + Rp 200.000) = Rp 1.125.000,-
12 bulan
Kapan THR harus dibayarkan?
Menurut Permen 04/1994, THR harus dibayarkan paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamanaan si pekerja. Namun apabila ada kesepakatan antara pengusaha dan karyawan untuk menentukan hari lain pembayaran THR, hal itu dibolehkan. Untuk menhindari persoalan pemberian THR maka penting bagi kita untuk jauh-jauh hari minimal satu bulan sebelum waktu pelaksanaan THR sudah menyampaikan tuntutan tentang besaran THR yang harus diterima buruh dan memastikan waktu pelaksanaannya.
Bolehkah THR dalam bentuk barang?
Menurut Pasal 5 Permen 04/1994, THR bisa diberikan dalam bentuk selain uang dengan syarat sebagai berikut:
1. Harus ada kesepakatan antara pekerja dan pengusaha terlebih dahulu,
2. Nilai yang diberikan dalam bentuk non-tunai maksimal 25% dari seluruh nilai THR yang berhak diterima karyawan, dan.
3. Barang tersebut selain minuman keras, obat-obatan, dan bahan obat, serta
4. Diberikan bersamaan pembayaran THR.
Bagaimana jika dipecat (PHK) sebelum Hari Raya?
Banyak perusahaan yang memecat (PHK) karyawannya sebelum Hari Raya atau membuat kontrak yang berakhir sebelum Hari Raya untuk menghindari kewajiban membayar THR. Namun sebenarnya Permen 04/1994 sudah mengantisipasi melalui Pasal 6 yang mengatur bahwa pekerja yang dipecat (PHK) maksimum 30 hari sebelum Hari Raya si pekerja, ia tetap berhak atas THR. Sedangkan untuk buruh kontrak yang kontraknya berakhir paling lama 30 hari sebelum Hari Raya si pekerja, ia tidak berhak atas THR.
Bagaimana jika perusahaan tidak mampu?
Pasal 7 Permen 04/1994 menentukan, apabila pengusaha tidak mampu membayar THR boleh membayar THR lebih kecil dari ketentuan yang berlaku dengan syarat:
1. Mengajukan permohonan penyimpangan jumlah pembayaran THR kepadaDirektur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
2. Pengajuan paling lambat 2 bulan sebelum Hari Raya karyawannya.
3. Mengenai jumlah THR yang wajib dibayarkan ditentukan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Bagaimana jika pengusaha melanggar ketentuan ini?
Menurut Pasal 8 Permen 04/1994, pengusaha yang melanggar ketentuan pembayaran THR diancam dengan hukuman baik pidana kurungan maupun denda.
Apa yang bisa dilakukan jika hak buruh atas THR dilanggar oleh pengusaha?
Jika hak atas THR selama ini dilanggar oleh pengusaha, maka buruh harus bisa segera mengkonsolidasikan seluruh buruh yang bekerja di pabrik dan membangun kekuatan dengan mendirikan serikat buruh apabila disitu belum ada serikat, jika sudah berdiri serikat maka para pimpinan serikat harus segera mengkonsolidasikan seluruh anggotanya dan mengajukan tuntutan bersama kepada pihak pengusaha. Dan apabila pengusaha tidak bersedia memenuhi tuntutan sebagaimana diatur dalam ketentuan berlaku maka serikat bisa membuat pengaduan pelanggaran hak normatif buruh kepada DISNAKER sekaligus merancang aksi massa dengan cara mogok kerja, karena hanya dengan jalan itulah buruh dapat memaksa pengusaha memberikan haknya kaum buruh, sedangkan proses melalui jalur hukum adalah perjuangan sekunder yang juga penting dilakukan dengan tujuan untuk memperkuat aksi massa yang dilancarkan.
Karena mengingat banyaknya pelanggaran atas pelaksanaan THR maka sebisa mungkin para aktivis/pimpinan Serikat buruh yang mempunyai komitmen kepedulian terhadap buruh agar bersedia membantu dengan berjuang bersama dengan cara membuat posko pengaduan masalah pelanggaran THR
Recent Posts
Minggu, 06 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar